Beralih ke Rekam Medis Elektronik (RME) bukan lagi sekadar langkah modernisasi—ini adalah kewajiban hukum. Sejak diterbitkannya PMK No. 24 Tahun 2022, seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia wajib menyelenggarakan RME. Kewajiban ini membawa konsekuensi hukum penting terkait perlindungan data, karena data RME dikategorikan sebagai data pribadi sensitif. Artinya, faskes tidak hanya diwajibkan digital, tetapi juga diwajibkan melindungi data pasien sesuai UU PDP No. 27 Tahun 2022. Mengabaikan dua pilar hukum ini berisiko menimbulkan sanksi administrasi hingga pidana.
Pilar Hukum 1: PMK No. 24 Tahun 2022 (Kewajiban Digitalisasi RME)
PMK ini adalah instrumen hukum yang mewajibkan semua faskes—klinik, puskesmas, rumah sakit, hingga praktik mandiri—untuk meninggalkan pencatatan manual dan beralih ke RME. Ada beberapa poin utama:
1. Wajib Menyelenggarakan RME
Setiap faskes tanpa kecuali harus menggunakan sistem RME. Ini bukan pilihan, tetapi kewajiban nasional untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
2. Batas Waktu Implementasi: 31 Desember 2023
Pemerintah telah menetapkan deadline final. Faskes yang belum beralih setelah tanggal tersebut sudah dianggap tidak patuh regulasi.
3. Wajib Terhubung dengan Platform Satu Sehat
Sistem RME yang digunakan harus bisa terintegrasi dengan platform nasional Kemenkes, yaitu Satu Sehat. Artinya Sistem Informasi Manajemen (SIM) Klinik Anda wajib memiliki interoperabilitas untuk pertukaran data medis secara aman dan standar.
4. Kepemilikan Data
Isi data RME adalah milik pasien, sedangkan berkas dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab faskes. Ini menegaskan hak pasien sekaligus kewajiban faskes menjaga keamanan.
Implikasinya: Menggunakan SIM Klinik yang tidak siap RME dan tidak bisa integrasi ke Satu Sehat = tidak patuh PMK 24.
Pilar Hukum 2: UU PDP No. 27 Tahun 2022 (Kewajiban Perlindungan Data)
Jika PMK 24 adalah perintah untuk digitalisasi data, maka UU PDP adalah perintah untuk melindungi data tersebut.
Dalam konteks UU PDP:
Klinik Anda = Pengendali Data Pribadi
Vendor SIM Klinik = Prosesor Data Pribadi
Sebagai Pengendali Data Pribadi, klinik wajib:
1. Mendapatkan Persetujuan (Consent)
Pasien harus memberikan persetujuan eksplisit sebelum data medisnya diproses, disimpan, atau dikirim ke Satu Sehat. Biasanya melalui formulir General Consent.
2. Menjamin Keamanan Data
Ini kewajiban inti: faskes harus memastikan data RME terlindungi dari akses ilegal, kebocoran, dan penyalahgunaan.
3. Kewajiban Notifikasi Insiden
Jika terjadi kebocoran data, klinik wajib memberi tahu pasien dan Lembaga Pelaksana PDP dalam maksimal 3×24 jam.
4. Menghormati Hak Pasien
Pasien berhak mengakses, memperbaiki, membatasi pemrosesan, atau—dalam kondisi tertentu—menghapus datanya.
5. Sanksi Berat
UU PDP menyediakan sanksi mulai dari teguran, denda hingga 2% dari pendapatan tahunan, hingga pidana penjara untuk kelalaian serius.
Peran SIM Klinik sebagai Solusi Kepatuhan
Memenuhi PMK 24 dan UU PDP tanpa sistem yang tepat hampir mustahil. Karena itu, SIM Klinik modern harus menjadi perisai hukum bagi faskes.
SIM Klinik yang patuh hukum harus menyediakan:
Fitur Kepatuhan PMK 24:
Sistem 100% berbasis RME
Struktur data medis sesuai standar nasional
Integrasi API ke Satu Sehat
Fitur Kepatuhan UU PDP:
Keamanan berlapis: enkripsi data saat disimpan & dikirim
Role-Based Access Control: membatasi akses staf sesuai tugas
Audit Trail: mencatat siapa mengakses data apa pada waktu kapan
Manajemen persetujuan pasien
Semua fitur tersebut wajib ada untuk memastikan klinik aman dari risiko hukum.
Kesimpulan
Transformasi digital kesehatan Indonesia bertumpu pada dua pilar:
PMK 24/2022 – faskes wajib digital dan wajib RME.
UU PDP/2022 – faskes wajib melindungi data pasien secara ketat.
Klinik Anda tidak bisa hanya patuh salah satu. Memilih SIM Klinik yang tepat bukan sekadar meningkatkan efisiensi, tetapi keputusan strategis untuk memastikan kepatuhan hukum, melindungi hak pasien, dan menjaga reputasi faskes dari risiko sanksi berat.